Setelah menyelesaikan studi S1 dibidang sejarah dan kebudayaan di Malaysia selama 5 tahun, saya kembali ke Aceh dimana saya dilahirkan 25 tahun lalu. Selama proses belajar di luar negeri, begitu banyak pengalaman yang saya dapat terutama dibidang sejarah yang begitu saya minati. Salah satu pengalaman yang saya dapat adalah membawa seorang dosen dari fakultas human science, departemen sejarah dan kebudayaan Universitas Antara Bangsa Malaysia. Beliau yang dikenal dengan nama Professor Ataullah Boghdan Kopanski, dosen sejarah peradaban Eropa dan Amerika. Professor Kopanski mengenal saya ketika mengambil beberapa subjek yang dia pelajari. Secara kebetulan, beliau sedang menulis tentang batu dan benteng yang ada di Aceh. Karena itu, beliau mengajak saya untuk mengunjung beberapa situs sejarah yang terdapat di beberapa tempat di Aceh. Dengan senang, saya bersedia menemani beliau mengunjungi Aceh.
Pada bulan April 2008, selama 7 hari kami berkesempatan mengelilingi Aceh dan mengunjungi beberapa situs sejarah penting yang terkait dengan batu dan benteng Aceh. Antaranya situs sejarah yang terdapat di sekitar Aceh Utara, seperti Makam Malikussaleh, Makam Sultanah Nahrashiah di samudra Pasai, Makam Ratu Nurul a’la di Minje Tujoh, Sedangkan di Aceh Pidie, kami mengunjungi Guha Tujoh di Laweung, Makam Tungku di Kandang dan Benteng Kuta Asan. Untuk sekitar Aceh besar dan Banda Aceh, Kami menelusuri situs sejarah seperti Benteng Indrapatra, Benteng IndraPuri, Makam Syiah Kuala, Gunongan/Taman Putroe Pahang, Mesium Aceh, Makam di Ujong Panju.
Setelah menelusuri beberapa situs sejarah tersebut di Aceh Besar, kami kembali ke Medan melalui rute Meulaboh-Medan. Setiba di Meulaboh, kami mengunjungi Pantai Suak ribee. Sebuah pantai yang menghadap Samudra India. Selain itu, kami juga tidak ketinggalan beristirahat di Mesjid Agung yang mempunyai gaya bangunan yang menarik dan unik. Dari meulaboh kami langsung menuju ke medan. Sebelum sampai di Medan, kami juga singgah di tempat rekreasi Air terjun “sipiso-piso’ dan juga Pinggiran danau Toba. Setelah tujuh hari menelusuri situs sejarah di Aceh, kami kembali ke Malaysia dengan membawa pengalaman-pengalaman yang tak terlupakan.
Dari pengalaman tersebut, saya terinspirasi untuk menelusuri kembali jejak-jejak peninggalan sejarah Aceh baik yang sudah atau yang belum saya kunjungi.
Pada bulan April 2008, selama 7 hari kami berkesempatan mengelilingi Aceh dan mengunjungi beberapa situs sejarah penting yang terkait dengan batu dan benteng Aceh. Antaranya situs sejarah yang terdapat di sekitar Aceh Utara, seperti Makam Malikussaleh, Makam Sultanah Nahrashiah di samudra Pasai, Makam Ratu Nurul a’la di Minje Tujoh, Sedangkan di Aceh Pidie, kami mengunjungi Guha Tujoh di Laweung, Makam Tungku di Kandang dan Benteng Kuta Asan. Untuk sekitar Aceh besar dan Banda Aceh, Kami menelusuri situs sejarah seperti Benteng Indrapatra, Benteng IndraPuri, Makam Syiah Kuala, Gunongan/Taman Putroe Pahang, Mesium Aceh, Makam di Ujong Panju.
Setelah menelusuri beberapa situs sejarah tersebut di Aceh Besar, kami kembali ke Medan melalui rute Meulaboh-Medan. Setiba di Meulaboh, kami mengunjungi Pantai Suak ribee. Sebuah pantai yang menghadap Samudra India. Selain itu, kami juga tidak ketinggalan beristirahat di Mesjid Agung yang mempunyai gaya bangunan yang menarik dan unik. Dari meulaboh kami langsung menuju ke medan. Sebelum sampai di Medan, kami juga singgah di tempat rekreasi Air terjun “sipiso-piso’ dan juga Pinggiran danau Toba. Setelah tujuh hari menelusuri situs sejarah di Aceh, kami kembali ke Malaysia dengan membawa pengalaman-pengalaman yang tak terlupakan.
Dari pengalaman tersebut, saya terinspirasi untuk menelusuri kembali jejak-jejak peninggalan sejarah Aceh baik yang sudah atau yang belum saya kunjungi.
BENTENG INDRAPATRA
Akhir tahun 2009, sepulang dari wisuda di Malaysia, saya memulai penelusuran situs sejarah yang pertama, yaitu benteng-benteng yang terdapat di sekitar Aceh besar . Ketika sedang studi, saya banyak membaca tentang benteng-benteng tersebut dan hanya melihat gambar dari beberapa sumber di website. Oleh karena ingin tahu yang kuat, saya mencari informasi dari media internet dan penduduk sekitar Banda Aceh dimana letak situs benteng tersebut. Perjalanan saya turut disertai oleh seorang sahabat yang juga sekuliah ketika di UIA; Riadi Husaini, adalah sarjana muda di bidang komunikasi yang juga meminati berbagai kegiatan yang bersangkutan dengan alam sekitar, termasuk dibidang yang saya telusuri. Setelah mendapat informasi yang akurat tentang letak benteng-benteng disekitar Aceh Besar, kami memulai penelusuran tersebut.
Tanggal 6 Desember 2009, Minggu pagi, kami berangkat dari Darussalam menuju Mesjid Raya. Selama dalam perjalanan, kami tidak lupa menikmati keindahan pantai Ujong Batee. Pantai Ujong Batee adalah salah satu tempat rekreasi pantai yang sudah tidak asing lagi penduduk sekitar Aceh Besar. Setiap hari, terutama hari sabtu dan minggu, pengunjung dari berbagai daerah di Aceh besar menghabiskan waktu bersama keluarga, teman dekat di Ujong Batee. Berteduh dibawah pohon cemara, atau menikmati kelapa muda diwarung-warung yang terdapat disepanjang jalan akan membuat hilang lelah bekerja selama satu minggu.
Setelah 15 menit mengendarai sepeda motor, kami sampai ke sebuah benteng yang terkenal dengan nama Benteng Indra Patra. Untuk masuk ke daerah benteng tersebut, pengunjung akan dipungut biaya sebesar 5 ribu rupiah untuk biaya perawatan, ” katanya”.
Benteng Indrapatra, yang terletak tepat dipinggir pantai sekitar 100 meter dari jalan utama adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Hindu yang menurut salah satu sumber dibangun oleh Putra Raja Harsha sekitar tahun 604 Masehi,(http://bustanussalatin.org).
Benteng Indrapatra juga termasuk salah satu dari 3 benteng dalam trail Aceh lhee sagoe. Trail Aceh Lhee Sagoe merupakan wilayah yang menghubungkan tiga Indra peninggalan zaman Hindu-Budha di Aceh (http://bustanussalatin.org). Jika dihubungkan tiga Indra antara satu sama lainnya, yaitu Indrapatra, Indrapuri dan Indrapurwa, maka akan berbentuk segi tiga. Dalam trail Aceh Lhee Sagoe tersebut, terdapat beberapa titik sejarah Aceh yang penting, seperti yang tertera dalam gambar.
Akhir tahun 2009, sepulang dari wisuda di Malaysia, saya memulai penelusuran situs sejarah yang pertama, yaitu benteng-benteng yang terdapat di sekitar Aceh besar . Ketika sedang studi, saya banyak membaca tentang benteng-benteng tersebut dan hanya melihat gambar dari beberapa sumber di website. Oleh karena ingin tahu yang kuat, saya mencari informasi dari media internet dan penduduk sekitar Banda Aceh dimana letak situs benteng tersebut. Perjalanan saya turut disertai oleh seorang sahabat yang juga sekuliah ketika di UIA; Riadi Husaini, adalah sarjana muda di bidang komunikasi yang juga meminati berbagai kegiatan yang bersangkutan dengan alam sekitar, termasuk dibidang yang saya telusuri. Setelah mendapat informasi yang akurat tentang letak benteng-benteng disekitar Aceh Besar, kami memulai penelusuran tersebut.
Tanggal 6 Desember 2009, Minggu pagi, kami berangkat dari Darussalam menuju Mesjid Raya. Selama dalam perjalanan, kami tidak lupa menikmati keindahan pantai Ujong Batee. Pantai Ujong Batee adalah salah satu tempat rekreasi pantai yang sudah tidak asing lagi penduduk sekitar Aceh Besar. Setiap hari, terutama hari sabtu dan minggu, pengunjung dari berbagai daerah di Aceh besar menghabiskan waktu bersama keluarga, teman dekat di Ujong Batee. Berteduh dibawah pohon cemara, atau menikmati kelapa muda diwarung-warung yang terdapat disepanjang jalan akan membuat hilang lelah bekerja selama satu minggu.
Setelah 15 menit mengendarai sepeda motor, kami sampai ke sebuah benteng yang terkenal dengan nama Benteng Indra Patra. Untuk masuk ke daerah benteng tersebut, pengunjung akan dipungut biaya sebesar 5 ribu rupiah untuk biaya perawatan, ” katanya”.
Benteng Indrapatra, yang terletak tepat dipinggir pantai sekitar 100 meter dari jalan utama adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Hindu yang menurut salah satu sumber dibangun oleh Putra Raja Harsha sekitar tahun 604 Masehi,(http://bustanussalatin.org).
Benteng Indrapatra juga termasuk salah satu dari 3 benteng dalam trail Aceh lhee sagoe. Trail Aceh Lhee Sagoe merupakan wilayah yang menghubungkan tiga Indra peninggalan zaman Hindu-Budha di Aceh (http://bustanussalatin.org). Jika dihubungkan tiga Indra antara satu sama lainnya, yaitu Indrapatra, Indrapuri dan Indrapurwa, maka akan berbentuk segi tiga. Dalam trail Aceh Lhee Sagoe tersebut, terdapat beberapa titik sejarah Aceh yang penting, seperti yang tertera dalam gambar.
Indrapatra mempunyai bangunan yang begitu strategis, yaitu dengan menghadap Selat Malaka. Karena letak yang begitu strategis, para penyerang dari laut akan bersusah payah untuk menakluki daerah tersebut. Benteng Indrapatra juga mempunyai bentuk segi empat, dan terdiri dari 4 bangunan. Dua dari bangunan benteng telah hancur dan hanya meninggalkan fondasi, selain disebabkan oleh usia yang telah lama, benteng tersebut juga rusak akibat bencana Tsunami yang terjadi lima tahun yang silam.
Selama lebih kurang 2 jam, kami mengamati keadaan benteng tersebut. Dua benteng yang masih berdiri kokoh terlihat mendapat perawatan, namun masih belum maksimal. Dari dalam, benteng terlihat kotor dan tidak terawat. Tidak cukupkah biaya sebanyak 5 ribu rupiah yang dipungut dari pengunjung untuk merawat benteng tersebut. Tidak adakah inisiatif pemerintah Aceh untuk melestarikan benteng tersebut?. Sangat disayangkan jika benteng peninggalan purbakala tersebut tidak dirawat dan akan membuat benteng tersebut runtuh dan hilang, sehingga benteng indrapatra akan hanya meninggalkan nama.
Seandainya Sultan Iskandar Muda yang kita agung-agungkan “hidup kembali”, maka beliau akan begitu marah menyaksikan Benteng yang dia bangun tidak dirawat dan dilestarikan oleh Masyarakat Aceh, terutama Pemerintah Aceh. Apalah artinya, jika yang kita lihat adalah hanya sebuah bangunan yang terdiri dari susunan batu-batuan yang berbentuk segi empat. Tetapi, bangunan tersebut sangat besar artinya bagi Bumi Aceh Darussalam sejak abad 15 dahulu, ketika Penjajah-penjajah kafir dari Eropa datang menyerang daerah Aceh yang kaya dengan sumber daya alamnya. Benteng-benteng tersebutlah yang mempunyai jasa yang tidak semestinya diabaikan, Benteng-benteng yang berdiri kokoh mempertahankan wilayah Aceh dari wabah kolonisasi Barat.
BENTENG INOENG BALEE
Selama lebih kurang 2 jam, kami mengamati keadaan benteng tersebut. Dua benteng yang masih berdiri kokoh terlihat mendapat perawatan, namun masih belum maksimal. Dari dalam, benteng terlihat kotor dan tidak terawat. Tidak cukupkah biaya sebanyak 5 ribu rupiah yang dipungut dari pengunjung untuk merawat benteng tersebut. Tidak adakah inisiatif pemerintah Aceh untuk melestarikan benteng tersebut?. Sangat disayangkan jika benteng peninggalan purbakala tersebut tidak dirawat dan akan membuat benteng tersebut runtuh dan hilang, sehingga benteng indrapatra akan hanya meninggalkan nama.
BENTENG ISKANDAR MUDA
Kami melanjutkan perjalanan menuju Krueng raya setelah puas mengamati benteng Indrapatra. Tidak lama kemudian, sekitar 15 menit dari benteng Indrapatra, kami singgah di sebuah benteng yang dikenal dengan nama Benteng Iskandar Muda. Pada awalnya, kami tidak mengetahui dimana letak benteng tersebut, hanya mengetahui namanya saja. Berdasarkan informasi dari penduduk sekitar, kami berhasil menemui benteng tersebut dengan mudah, karena letaknya yang begitu fisible dan dapat dilihat jelas dari jalan utama. Kami heran kenapa tidak ada sebarang papan nama (sign board) di pinggir jalan yang menjelaskan kedudukan benteng Iskandarmuda.
Benteng Iskandar muda adalah salah satu titik sejarah yang termasuk dalam trail Aceh Lhee Sagoe. Benteng Iskandar Muda dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada Abad 16 untuk melindungi wilayah kekuasaannya dari serangan Belanda dan Portugis. Benteng tersebut terletak di daerah Krueng Raya, Kecamatan Mesjid Raya, sekitar 50 Meter dari Jalan utama arah laut Selat Malaka. Benteng yang dibangun di pinggir sungai “Krueng Raya” mempunyai bentuk persegi empat, bentuk yang hampir serupa dengan benteng Indrapatra. Tetapi hanya mempunyai sebuah bangunan saja.
Kami melanjutkan perjalanan menuju Krueng raya setelah puas mengamati benteng Indrapatra. Tidak lama kemudian, sekitar 15 menit dari benteng Indrapatra, kami singgah di sebuah benteng yang dikenal dengan nama Benteng Iskandar Muda. Pada awalnya, kami tidak mengetahui dimana letak benteng tersebut, hanya mengetahui namanya saja. Berdasarkan informasi dari penduduk sekitar, kami berhasil menemui benteng tersebut dengan mudah, karena letaknya yang begitu fisible dan dapat dilihat jelas dari jalan utama. Kami heran kenapa tidak ada sebarang papan nama (sign board) di pinggir jalan yang menjelaskan kedudukan benteng Iskandarmuda.
Benteng Iskandar muda adalah salah satu titik sejarah yang termasuk dalam trail Aceh Lhee Sagoe. Benteng Iskandar Muda dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada Abad 16 untuk melindungi wilayah kekuasaannya dari serangan Belanda dan Portugis. Benteng tersebut terletak di daerah Krueng Raya, Kecamatan Mesjid Raya, sekitar 50 Meter dari Jalan utama arah laut Selat Malaka. Benteng yang dibangun di pinggir sungai “Krueng Raya” mempunyai bentuk persegi empat, bentuk yang hampir serupa dengan benteng Indrapatra. Tetapi hanya mempunyai sebuah bangunan saja.
Dari hasil kunjungan yang kami lakukan, terlihat beberapa perbaikan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Aceh. Selain bangunan benteng yang sebagiannya runtuh akibat terjangan Tsunami tahun 2004, Pagar disekeliling benteng juga telah dibangun. Namun sampai saat ini, Benteng tersebut masih belum maksimal pelestariannya. Ketika kami masuk ke daerah benteng, kami melihat pemandangan yang sama seperti benteng Indrapatara; kotor,dan tidak ada perawatan yang dilakukan. Selain itu, tidak ada penjaga benteng yang kami jumpai selama kami mengamati sekitar benteng Iskandar Muda.
Seandainya Sultan Iskandar Muda yang kita agung-agungkan “hidup kembali”, maka beliau akan begitu marah menyaksikan Benteng yang dia bangun tidak dirawat dan dilestarikan oleh Masyarakat Aceh, terutama Pemerintah Aceh. Apalah artinya, jika yang kita lihat adalah hanya sebuah bangunan yang terdiri dari susunan batu-batuan yang berbentuk segi empat. Tetapi, bangunan tersebut sangat besar artinya bagi Bumi Aceh Darussalam sejak abad 15 dahulu, ketika Penjajah-penjajah kafir dari Eropa datang menyerang daerah Aceh yang kaya dengan sumber daya alamnya. Benteng-benteng tersebutlah yang mempunyai jasa yang tidak semestinya diabaikan, Benteng-benteng yang berdiri kokoh mempertahankan wilayah Aceh dari wabah kolonisasi Barat.
BENTENG INOENG BALEE
Setelah melihat dan mengamati keadaan benteng Iskandar Muda, Kami berangkat ke sebuah benteng yang dibangun oleh para janda-janda yang suaminya shahid dimedan perang melawan kafir. Benteng tersebut dinamakan Benteng Inoeng Balee, menurut penuturan masyarakat, terletak di tempat yang begitu strategis dan menarik.
Melewati kota kecil Krueng raya, mengingatkan saya pada kampung halaman, dimana para pemuda asyik menghabiskan waktu di warung-warung, sudah menjadi kebiasaan bagi pemuda-pemuda Aceh yang menetap dikampung, mereka akan bekerja sehari dan libur seminggu. Akan tetapi, jika pemuda-pemuda Aceh merantau ke luar daerah, maka mereka akan berusaha untuk mencari kerja dan berkarir.
Tidak lama kemudian, kami melewati sebuah Pabrik semen milik Pabrik Semen Padang. Pabrik tersebut adalah sebuah cabang dari pabrik semen padang yang berpusat di Sumatra Barat. Seketika, saya berhenti dan menyaksikan pabrik sambil merenungkan pepatah orang tua ” Buya duek teudoeng-doeng, buya tamoeng meuraseuki”. Mungkin pepatah tersebut tidak begitu bermakna bagi sebagian masyarakat, tetapi pepatah tersebut akan terlihat dampaknya ketika banyak pendatang dari luar Aceh mengendarai mobil mewah dan rumah besar. Sementara masyarakat Aceh tinggal di gubuk yang akan runtuh jika diterpa angin laut.
Seharusnya, Pemerintah Aceh menghimbau kepada masyarakat untuk memakai produk-produk Aceh sendiri, dalam hal ini seperti semen Andalas yang terletak di Lhoknga, Aceh Besar. Dengan memakai produk Aceh, maka ekonomi Aceh akan berangsur pulih.
Perjalanan ke benteng Inoeng Balee kami teruskan sesudah melihat pabrik semen padang. Salah satu daya tarik yang dapat kita lihat ketika menuju ke benteng Inoeng Balee adalah pemandangan dari atas bukit. Dari jalan utama yang menaiki perbukitan, kita bisa melihat pemandangan dari atas, seperti pabrik semen Padang, Kota kecil Krueng Raya dan perahu-perahu yang sibuk memburu ikan di selat Malaka. Tempat tersebut ternyata tidak kalah dengan keindahan panorama sabang dan sangat cocok untuk melepaskan lelah bagi yang bepergian jauh. Kami tidak lupa mengambil kesempatan untuk beristirahat sambil menyaksikan panorama alam tersebut.
Kami melanjutkan perjalanan ke benteng inoeng balee setelah melepaskan dahaga dan lelah. Sebelumnya kami sempat menanyakan pada penduduk setempat tentang letak benteng tersebut, dan ternyata lorong masuk ke benteng hanya 100 meter lagi dari tempat kami istirahat. Dengan semangat, kami langsung menuju ke arah tersebut.
Ketika tiba di lorong menuju benteng, kami berusaha mencari papan nama( sign board) yang menandakan letak benteng Inoeng balee. Setelah 15 menit mencari , kami berhasil menemukannya, akan tetapi papan tanda tersebut terhalang oleh pohon-pohon yang terdapat dipinggir jalan, selain itu tulisan pada papan tanda tersebut hampir tidak bisa dibaca lagi. Jika pengunjung tidak menemukan papan tanda atau tidak mencari informasi dari penduduk setempat, maka akan begitu susah untuk mengetahui letak benteng inoeng balee.
Lorong yang mengarahkan ke Inoeng Balee tidak begitu besar, sedangkan badan jalan tidak di aspal, sehingga kami mengendarai sepeda motor dengan penuh hati-hati karena batu-batu yang runcing. Sekitar 100 meter memasuki lorong, kami menemui beberapa arah yang menuju ke tempat yang berbeda, seketika kami kebingungan, mana arah yang menuju ke benteng. Inisiatif yang kami ambil adalah mengikuti arah yang terdapat banyak tapak kendaraan. Jalan yang mengarahkan ke benteng Inoeng Balee tidak pernah dibuat, sehingga pengunjung terpaksa menghadapi jalan yang berbatu dan lumpur. Selain itu, sepanjang jalan tidak terdapat papan tanda yang mengarahkan ke benteng, sehingga seringkali pengunjung tersesat jalan karena begitu banyak jalan setapak yang mengarahkan ke berbagai tempat. Alhasil, pemerintah Aceh sangat antusias untuk mempromosikan parawisata, tetapi jalan menuju tempat tersebut saja tidak pernah dibuat selayaknya. Perjalanan dari jalan utama ke benteng sekitar 300 meter dan mengambil waktu 15 menit karena jalan yang rusak parah.
Melewati kota kecil Krueng raya, mengingatkan saya pada kampung halaman, dimana para pemuda asyik menghabiskan waktu di warung-warung, sudah menjadi kebiasaan bagi pemuda-pemuda Aceh yang menetap dikampung, mereka akan bekerja sehari dan libur seminggu. Akan tetapi, jika pemuda-pemuda Aceh merantau ke luar daerah, maka mereka akan berusaha untuk mencari kerja dan berkarir.
Tidak lama kemudian, kami melewati sebuah Pabrik semen milik Pabrik Semen Padang. Pabrik tersebut adalah sebuah cabang dari pabrik semen padang yang berpusat di Sumatra Barat. Seketika, saya berhenti dan menyaksikan pabrik sambil merenungkan pepatah orang tua ” Buya duek teudoeng-doeng, buya tamoeng meuraseuki”. Mungkin pepatah tersebut tidak begitu bermakna bagi sebagian masyarakat, tetapi pepatah tersebut akan terlihat dampaknya ketika banyak pendatang dari luar Aceh mengendarai mobil mewah dan rumah besar. Sementara masyarakat Aceh tinggal di gubuk yang akan runtuh jika diterpa angin laut.
Seharusnya, Pemerintah Aceh menghimbau kepada masyarakat untuk memakai produk-produk Aceh sendiri, dalam hal ini seperti semen Andalas yang terletak di Lhoknga, Aceh Besar. Dengan memakai produk Aceh, maka ekonomi Aceh akan berangsur pulih.
Perjalanan ke benteng Inoeng Balee kami teruskan sesudah melihat pabrik semen padang. Salah satu daya tarik yang dapat kita lihat ketika menuju ke benteng Inoeng Balee adalah pemandangan dari atas bukit. Dari jalan utama yang menaiki perbukitan, kita bisa melihat pemandangan dari atas, seperti pabrik semen Padang, Kota kecil Krueng Raya dan perahu-perahu yang sibuk memburu ikan di selat Malaka. Tempat tersebut ternyata tidak kalah dengan keindahan panorama sabang dan sangat cocok untuk melepaskan lelah bagi yang bepergian jauh. Kami tidak lupa mengambil kesempatan untuk beristirahat sambil menyaksikan panorama alam tersebut.
Kami melanjutkan perjalanan ke benteng inoeng balee setelah melepaskan dahaga dan lelah. Sebelumnya kami sempat menanyakan pada penduduk setempat tentang letak benteng tersebut, dan ternyata lorong masuk ke benteng hanya 100 meter lagi dari tempat kami istirahat. Dengan semangat, kami langsung menuju ke arah tersebut.
Ketika tiba di lorong menuju benteng, kami berusaha mencari papan nama( sign board) yang menandakan letak benteng Inoeng balee. Setelah 15 menit mencari , kami berhasil menemukannya, akan tetapi papan tanda tersebut terhalang oleh pohon-pohon yang terdapat dipinggir jalan, selain itu tulisan pada papan tanda tersebut hampir tidak bisa dibaca lagi. Jika pengunjung tidak menemukan papan tanda atau tidak mencari informasi dari penduduk setempat, maka akan begitu susah untuk mengetahui letak benteng inoeng balee.
Lorong yang mengarahkan ke Inoeng Balee tidak begitu besar, sedangkan badan jalan tidak di aspal, sehingga kami mengendarai sepeda motor dengan penuh hati-hati karena batu-batu yang runcing. Sekitar 100 meter memasuki lorong, kami menemui beberapa arah yang menuju ke tempat yang berbeda, seketika kami kebingungan, mana arah yang menuju ke benteng. Inisiatif yang kami ambil adalah mengikuti arah yang terdapat banyak tapak kendaraan. Jalan yang mengarahkan ke benteng Inoeng Balee tidak pernah dibuat, sehingga pengunjung terpaksa menghadapi jalan yang berbatu dan lumpur. Selain itu, sepanjang jalan tidak terdapat papan tanda yang mengarahkan ke benteng, sehingga seringkali pengunjung tersesat jalan karena begitu banyak jalan setapak yang mengarahkan ke berbagai tempat. Alhasil, pemerintah Aceh sangat antusias untuk mempromosikan parawisata, tetapi jalan menuju tempat tersebut saja tidak pernah dibuat selayaknya. Perjalanan dari jalan utama ke benteng sekitar 300 meter dan mengambil waktu 15 menit karena jalan yang rusak parah.
Begitu sampai ke daerah benteng, kami disambut oleh pemandangan laut yang indah disebalik pohon-pohon rindang, serta terpaan angin laut yang membuat dahaga kami hilang. Akan tetapi, tidak ada tanda-tanda objek benteng yang ingin kami lihat, kecuali Notice board/papan pemberitahun yang di sediakan oleh pemerintah Aceh, itupun sudah hilang sebagian tulisannya.
Setelah mendekat kearah pohon yang tumbuh tepat dipinggir tebing, kami baru bisa melihat objek yang selama ini kami lihat digambar atau di website. Objek itu adalah benteng Inoeng balee; benteng pertahanan dan pengawasan laut selat malaka yang terletak di atas bukit.
Sambil melepaskan dahaga, kami melihat sebuah plakat atau tanda yang ditulis;
“Kuta Inong Bal’ee nyang geupeug’et le’ sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayyidil Mukammil( 1589-1604) nyoe geungui sibagoe pusat peurtahanan wilayah pantee seulat malaka. Kuta nyoe dipeuguna seubagai aseurama Laseuka Inong Baleen yang linto-linto gobnyan syahid lam mideuen prang”.
Dari tulisan tersebut, jelas bahwa benteng tersebut mempunyai jasa yang luar biasa. Selain itu, benteng tersebut juga salah satu benteng peninggalan abad 16 yang dibangun oleh sultan demi ketahanan wilayah Aceh dari serangan luar, terutama diperarian selat Malaka. Kuta atau benteng tersebut juga digunakan sebagai asrama bagi para Inoeng Balee( janda-janda) Aceh yang suaminya Syahid di medan perang. Di asrama tersebut mereka diberi pengetahuan agama dan berbagai ilmu pengetahuan termasuk ilmu peperangan.
Benteng yang sebagiannya terdiri dari asrama tersebut dapat dibuktikan dengan potongan-potongan berbagai jenis keramik di sekitar benteng. Ketika kami mengelilingi benteng, kami banyak menemukan potongan keramik yang terbuat dari berbagai bahan. Merujuk pada buku dan informasi yang saya dapat, keramik-keramik tersebut sebagian besarnya di bawa dari berbagai Negara, seperti Cina (Dinasti Ming), India dan Eropa pada abad ke 16 ketika puncak kejayaan Aceh Darussalam. Perdagangan keramik di Aceh sebenarnya sudah terjadi jauh sebelumnya, yaitu pada awal abad 10, hanya bahan-bahan yang dibuat kemungkinan tidak bertahan lama karena keterbatasan tehnologi. Dari potongan keramik tersebut, dapat disimpulkan bahwa para Inoeng balee tersebut menghabiskan waktunya di asrama, selain menimba ilmu, mereka juga memasak dan berkebun.
Setelah dahaga pulih, kami memulai mengikuti tapak benteng Inoeng balee, Arah pertama yang kami mulai adalah dari arah timur benteng yang terlihat masih kokok, tidak jauh setelahnya, keadaan benteng mulai berubah bentuknya. Pohon-pohon yang tumbuh telah memperlihatkan efek yang sangat buruk bagi benteng. Akar pohon tersebut telah masuk ke dalam fondasi benteng, sehingga sebagian fondasi benteng runtuh. Setelah 10 menit kami jejaki, kami kehilangan tapak benteng karena terputus. Pada awalnya, kami berpendapat bahwa tapak yang putus tersebut adalah akhir benteng. Akan tetapi, karena benteng inoeng balee tidak mendapatkan perawatan yang maksimal, dimana pohon-pohon telah tumbuh, sehingga sebagian besar bangunan benteng telah tertutup dan tidak terlihat dengan jelas dari arah barat, di sebalik rimbun pohon pohon yang tumbuh lebat, terdapat sambungan benteng yang begitu luas. Dengan perasaan ingin tahu yang kuat, kami langsung mengikuti tapak tersebut sampai menemukan akhir bangunan benteng tersebut. Bentuk benteng tidak begitu sempurna lagi, karena dimakan usia dan kurangnya perawatan, namun masih bisa dilalui, tetapi harus dengan hati-hati. Banyak potongan keramik yang kami temukan ketika menjejaki tapak benteng tersebut.
Setelah berhasil menjejaki tapak benteng sampai pada titik terakhir, kami menyimpulkan bahwa benteng Inoeng Balee berperan penting dalam sejarah Aceh, seperti pertahanan perarian selat Malaka, Asrama para Inoeng Balee dan juga pusat militer. Benteng tersebut kononnya dibangun oleh para inoeng-inoeng balee dibawah pengawasan seorang wanita Aceh yang begitu terkenal dan dikagumi, dia adalah Laksamana Malahayati, beliau menjabat sebagai panglima angkatan laut kepala dinas rahasia kerajaan dan protokol istana dibawah sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayyidil Mukammil (1589-1604),(rujuk pada”Makam Laksamana Malahayati” untuk informasinya).
Benteng Inoeng Balee, benteng yang telah banyak dilupakan masyarakat, perawatan dan pelestarian yang begitu minimal akan mengakibatkan kerusakan pada benteng tersebut. Jika kita tidak merawat dan memperhatikan peninggalan sejarah tersebut, maka benteng Inoeng Balee akan lenyap dan hilang. Kita boleh berbangga terhadap perjuangan orang Aceh dahulu, tetapi untuk apa jika peninggalannya saja tidak kita perhatikan. Saya berharap pada pemerintah Aceh untuk mengambil inisiatif untuk merawat dan melestarikan benteng tersebut, agar masyarakat Aceh bisa mengunjungi dan menghayati bagaimana perjuangan orang-orang Aceh dimasa dulu.
Setelah 3 jam mengamati keadaan benteng dan menikmati panorama laut yang indah, kami meninggalkan benteng Inoeng balee menuju kota Banda Aceh. Perjalanan kami masih panjang, karena masih ada beberapa benteng lagi yang harus kami telusuri.
Setelah berhasil menjejaki tapak benteng sampai pada titik terakhir, kami menyimpulkan bahwa benteng Inoeng Balee berperan penting dalam sejarah Aceh, seperti pertahanan perarian selat Malaka, Asrama para Inoeng Balee dan juga pusat militer. Benteng tersebut kononnya dibangun oleh para inoeng-inoeng balee dibawah pengawasan seorang wanita Aceh yang begitu terkenal dan dikagumi, dia adalah Laksamana Malahayati, beliau menjabat sebagai panglima angkatan laut kepala dinas rahasia kerajaan dan protokol istana dibawah sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayyidil Mukammil (1589-1604),(rujuk pada”Makam Laksamana Malahayati” untuk informasinya).
Benteng Inoeng Balee, benteng yang telah banyak dilupakan masyarakat, perawatan dan pelestarian yang begitu minimal akan mengakibatkan kerusakan pada benteng tersebut. Jika kita tidak merawat dan memperhatikan peninggalan sejarah tersebut, maka benteng Inoeng Balee akan lenyap dan hilang. Kita boleh berbangga terhadap perjuangan orang Aceh dahulu, tetapi untuk apa jika peninggalannya saja tidak kita perhatikan. Saya berharap pada pemerintah Aceh untuk mengambil inisiatif untuk merawat dan melestarikan benteng tersebut, agar masyarakat Aceh bisa mengunjungi dan menghayati bagaimana perjuangan orang-orang Aceh dimasa dulu.
Setelah 3 jam mengamati keadaan benteng dan menikmati panorama laut yang indah, kami meninggalkan benteng Inoeng balee menuju kota Banda Aceh. Perjalanan kami masih panjang, karena masih ada beberapa benteng lagi yang harus kami telusuri.
(BERSAMBUNG...)
Menarik sekali sejarah kejayaan kerajaan Aceh ini.
ReplyDeletesmga bisa disambung gi ya hasil penelusuran2 na.....
ReplyDeleteikan bakar
ReplyDeleteterimakasih sobat aceh