My photo
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Aceh, seperti yang kita ketahui, menyimpan nilai sejarah yang kaya melalui peninggalannya. Tetapi, pada saat ini, banyak masyarakat Aceh telah lupa terhadap hal tersebut,sehingga nilai sejarah Aceh semakin menghilang dan mengakibatkan terhapusnya identitas masyarakat Aceh sendiri. Dengan bekal ilmu yang ada, penulis akan menelusuri jejak peninggalan sejarah Aceh, sehingga pembaca dan masyarakat Aceh mendapatkan berbagai informasi. Semoga blog ini bermanfa'at bagi pembaca-pembaca budiman,Amin. Terima Kasih.

Monday, August 2, 2010

Kerajaan IndraPurwa dan Makam Tgk Cot Diujong

Ujong Pancu dan Peninggalan Sejarah Aceh
Tidak banyak masyarakat sekitar Banda Aceh mengetahui kedudukan desa Ujong Pancu, salah satu desa dalam kecamatan Peukan Bada, Banda Aceh. Hanya pemancing atau nelayan yang kerap mengetahui dimana letak Desa Ujong Pancu tersebut. Bagi saya, Ujong Pancu merupakan desa yang menyimpan banyak rahasia tentang sejarah Aceh dan peninggalannya. Oleh karena itu, saya dan Riadi bertekad menelusuri jejak peninggalan sejarah Aceh yang tersimpan di sekitar Desa Ujong Pancu.
Darussalam, Akhir tahun 2009 tepatnya pukul 7 pagi, Masyarakat Aceh mulai sibuk dengan urusannya masing masing. Sambil memanasi kendaraan, saya melihat para mahasiswa mulai berdatangan ke kampus, sementara warung kopi dengan sajian nasi gurinya sudah siap melayani siapa saja yang singgah. Dengan bekal semangat, kami pun menerjang angin pagi yang dingin menuju Ujong Pancu dan berharap sampai ke desa tersebut sebelum air laut pasang, karena tujuan pertama kami adalah menuju ke sebuah tapak perkuburan lama yang terletak satu kilometer ke arah laut. 20 menit kemudian, kami sampai ke Ujong Pancu dan bergegas untuk menuju ke tapak makam tersebut.
Dipesisir pantai Ujong Pancu, terdapat sebuah tapak makam yang terletak sekitar satu kilometer kearah laut. jika air laut pasang, makam tersebut akan tenggelam dan harus memakai perahu untuk mengunjunginya. Akan tetapi, jika air laut sedang surut, pengunjung bisa berjalan kaki menuju ke makam tersebut, tetapi hanya untuk beberapa jam saja. Karena kami tidak mempunyai biaya untuk menyewa perahu, kami mengambil kesempatan ketika air laut surut, dan berjalan kaki menuju makam tersebut.
Menurut penduduk sekitar Ujong pancu, sebelum Tsunami tahun 2004 makam tersebut dikelilingi oleh perkampungan. Ketika tsunami terjadi, perkampungan tersebut terkena impak yang sangat parah, sehingga terjadi pengikisan yang begitu luas dan yang tertinggal hanyalah makam tersebut. Penduduk setempat juga mengatakan bahwa disekitar makam tersebut, terdapat beberapa tapak peninggalan sejarah, seperti pondasi Mesjid Indrapurwa yang awalnya merupakan sebuah pura Kerajaan Hindu, dan diubah menjadi mesjid ketika masuknya Islam.

Ketika kami sampai dipesisir Ujong pancu, jam telah menunjukan pukul 7.30 pagi. Harapan kami untuk menuju ke makam tersebut begitu tipis, karena beberapa nelayan yang kami jumpai mengatakan tidak lama lagi air akan pasang. Alhasil, setelah mencoba berjalan sekitar 500 meter, air laut mulai pasang dan penelusuran pertama kami pun gagal. Walaupun begitu, semangat kami tidak patah begitu saja. Di lain waktu, kami akan kembali dan menjejaki tapak makam tersebut.










Kami singgah di bawah gedung SD Lampageue untuk menikmati nasi guri yang kami beli di Darussalam. SD Lampageue, yang dibangun dengan biaya 8 milyar tersebut terlihat mewah dan canggih, tetapi kami kecewa ketika mendengar bahwa jumlah semua murid SD tersebut tidak lebih dari 15 orang. Begitu minimnya minat masyarakat tersebut terhadap pendidikan dan kurangnya dukungan terhadap anak untuk mengecap pendidikan demi masa depan mereka. Masyarakat setempat lebih mengutamakan ekonomi daripada pendidikan, sehingga tidaklah heran jika anak-anak tersebut sudah mulai bekerja. Setelah mengisi tenaga secukupnya, kami kemudian menuju ke sebuah tapak peninggalan sejarah penting yang mulai dilupakan masyarakat Aceh.
Kerajaan IndraPurwa
Situs kerajaan IndraPurwa merupakan salah satu peninggalan sejarah Aceh yang penting yang tersimpan di desa Ujong Pancu. Indra Purwa didirikan pada masa kerajaan Hindu dan termasuk salah satu dari 3 Indra dalam trail Aceh lhee sagoe. Trail Aceh Lhee Sagoe merupakan wilayah yang menghubungkan tiga Indra peninggalan zaman Hindu-Budha di Aceh, yang terdiri dari Indra Patra, Indra puri dan Indra Purwa. Tidak banyak orang Aceh mengetahui dimana letak situs Kerajaan tersebut.

Awalnya, kami juga tidak mengetahui dimana letak kerajaan tersebut. Berkat sebuah plakat yang disediakan oleh “yayasan Bustanussalatin”, kami akhirnya mengetahui daerah dimana letak situs kerajaan tersebut. Yayasan Bustanussalatin merupakan salah satu lembaga yang memerhatikan situs peninggalan sejarah Aceh. Lembaga tersebut telah menyediakan penunjuk atau plakat pada setiap situs peninggalan sejarah sehingga para pengunjung mengetahui letak dan latar belakang situs tersebut. Terimakasih untuk Yayasan Bustanussalatin.
Situs kerajaan Indra Purwa terletak di sekitar mesjid Indrapurwa yang dibangun setelah Tsunami. Ketika berada di halaman mesjid, kami tidak melihat bangunan lama yang umumnya berbentuk benteng, kami kemudian menuju ke arah selatan mesjid, hasilnya juga sama.

Setelah 30 menit mengelilingi dan memerhatikan sekitar halaman mesjid, kami istirahat di atas sebuah pondasi tepat di samping mesjid arah selatan. ketika asyik beristirahat, saya memerhatikan pondasi tersebut dan terkejut ketika mengetahui bahwa pondasi tempat kami istirahat adalah tempat dimana Kerajaan IndraPurwa didirikan.

Jika pengunjung tidak memerhatikankan dengan seksama, maka pondasi tersebut tidak terlihat seperti bangunan lama, karena sebagian pondasinya telah di lapisi semen, sehingga bentuk aslinya tidak bisa dilihat dengan jelas. Selain itu, hanya sebagian pondasi bangunan yang masih utuh. Keadaan sekitar tapak kerajaan IndraPurwa begitu memprihatinkan, karena tidak ada perawatan sama sekali. Sungguh disayangkan bila situs sejarah yang begitu penting diabaikan begitu saja, tanpa perawatan dan perhatian dari Masyarakat dan Pemerintah Aceh. Saya berharap pemerintah Aceh memberikan perhatian terhadap kelestarian Tapak Kerajaan IndraPurwa, karena keberadaan situs tersebut dapat membuktikan identitas Kerajaan Aceh baik sebelum atau sesudah masuk Islam.
Setelah menemukan tapak kerajaan Indra Purwa di Mesjid IndraPurwa, kami kemudian menuju kearah selatan, kira-kira 200 meter dari Mesjid. Menurut informasi yang kami dapat dari seorang penduduk, daerah yang akan kami tuju terdapat beberapa batu nisan peninggalan abad 15 dan 16 bahkan jauh sebelumnya. Kawasan tersebut telah ditutupi pohon yang lebat dan rumput yang panjang, sehingga sulit bagi kami untuk menemukan batu nisan. Setelah mencari dengan teliti, akhirnya kami berhasil menemukan beberapa batu nisan, namun sebagian dari batu nisan tersebut telah dimakan usia sehingga bentuknya tidak begitu sempurna.

Selain itu, kami juga menemukan batu nisan yang sudah tertimbun tanah, dan hampir tidak kelihatan bentuknya. Setelah memasuki kawasan tersebut sedalam 100 meter, kami baru menemukan batu nisan yang masih sempurna bentuknya, namun batu nisan tersebut telah tercabut dari tanah. Karena terik matahari yang menyengat kulit, kami kemudian berteduh di bawah pohon tidak jauh dari kawasan perkuburan. Saat kami sampai dibawah pohon yang rindang tersebut, kami tidak menyangka jika kami juga menemukan beberapa batu nisan Aceh yang mempunyai ukiran kalimah Allah. Akan tetapi batu nisan tersebut juga tercabut dari tanah, sehingga kami tidak mengetahui dimana letak yang sebenarnya. Besar kemungkinannya, jika batu nisan tersebut telah tercabut akibat Ombak Tsunami tahun 2004 silam.


Makam Tungku Cot di Ujong
Pukul 12 siang, kami melanjutkan perjalanan menuju arah barat Ujong Pancu, tepatnya ke Makam Tungku Cot di Ujong. Tungku Cot di Ujong kata penduduk setempat, merupakan seorang Ulama terkenal dan makam beliau dipercayai keramat. Ketika kami tanya dimana letak makam Tungku Cot di Ujong, mereka menanyakan apa tujuan kami mengunjungi makam tersebut dan kami pun menjelaskannya panjang lebar. Penduduk setempat mengingatkan agar kami hati hati ketika menuju ke makam Tungku, karena menurut mereka, jika niatnya tidak baik, maka pengunjung akan berjumpa dengan binatang-binatang yang berbahaya, seperti ular, harimau dan bahkan makhluk halus atau tersesat. Dan jika niat mengunjungi makam baik, maka makam Tungku akan mudah di temukan. Awalnya, kami juga merasa takut dan keberatan untuk mengunjungi makam tersebut, tetapi karena mempunyai niat yang baik, akhirnya kami bertekad untuk mengunjungi makam Tungku Cot di Ujong.
Dengan mengendarai sepeda motor, kami meninggalkan mesjid Indra Purwa dan menuju Makam tungku cot di ujong. Melewati jalan aspal yang kecil di tengah perkampungan dan menikmati keindahan laut ujong pancu, membuat perjalanan kami semakin menarik. Setelah 10 menit mengendarai sepeda motor, kami sampai di kaki bukit dan berhenti sejenak untuk melepaskan pandangan kearah pantai. Sungguh indah pemandangan pantai Ujong pancu jika di lihat dari kaki bukit tersebut. Hamparan luas pantai dikelilingi oleh perkampungan Ujong Pancu yang dilindungi oleh gunung. Sementara dari arah timur pantai, kami dapat melihat keindahan gunung Seulawah yang menjulang tinggi, seolah-olah menyentuh angkasa. Dipinggiran kaki bukit, kami lihat beberapa orang sibuk memancing ikan. Pantai Ujong Pancu adalah salah satu tempat utama bagi sebagian masyarakat Aceh besar yang mempunyai hobi memancing.
Setelah melepaskan dahaga, kami langsung melanjutkan perjalanan. Tidak lama kemudian, kami menemukan jalan buntu dimana banyak sepeda motor milik pemancing parkir berjejeran disamping jalan. Untuk seketika, rasa takut dan was was kami hilang karena tempat tersebut banyak dikunjungi orang.


Tidak jauh dari tempat parkir sepeda motor tersebut, kami menemukan sebuah jalan setapak yang dibuat dari semen. Untuk memastikan jalan setapak tersebut menuju ke makam tersebut, kami bertanya pada orang yang sedang berkebun tidak jauh dari jalan tersebut. Setelah memastikan, akhirnya kami meneruskan perjalanan.

Kami mengikuti jalan setapak tersebut sambil mendengar suara ombak yang menghantam karang. Ternyata, perjalanan menuju ke makam tersebut agak menyeramkan. Penelusuran kami disaksikan oleh dua objek yang bisa membuat bulu kuduk kami berdiri. Dari sisi kiri, hutan yang lumayan lebat membuat kami was-was terhadap binatang buas seperti harimau atau ular. Sementara disisi kanan, kami di intai oleh jurang yang curam. Kami harus extra hati-hati berjalan, karena jalan setapak tersebut agak licin. Akan tetapi, kicauan burung-burung yang berusaha menyapa membuat rasa was-was kami menghilang. Dalam perjalanan tersebut, saya bertanya pada diri sendiri, kira-kira siapa nama ulama yang ada dimakam tersebut dan mengapa beliau di makamkan di tempat yang begitu terpencil?. Rasa ingin tahu saya semakin kuat dan membangkitkan semangat untuk menelusurinya.
Setelah berjalan selama kira-kira 10 menit, akhirnya kami melihat sebuat atap dibalik celah pohon-pohon. Kami langsung mendekati tempat tersebut dan saya begitu terkejut dan terpana ketika melihat sebuah papan yang tertulis “Maqam Syeh Hamzah Al-Fansyuri Al-Farisyi”. Perasaan gembira, penasaran, dan bingung menjadi satu. Seorang ulama yang begitu terkenal di Asia, seorang ulama sufi yang bukunya telah dibedah oleh banyak ilmuan, seorang ulama yang besar namanya, seorang ulama yang pernah hidup dimasa kegemilangan kerajaan Aceh pada abad ke 17. Banyak buku biografi beliau telah saya baca, dan saya baru tahu ternyata beliau beristirahat di tempat yang sunyi nan jauh. Saya begitu senang karena akhirnya saya mengetahui tempat beliau dimakamkan.
Dengan membaca salam kepada ahli kubur, kami langsung masuk ke dalam pekarangan makam. Luas pekarangan makam kira-kira 10X10 meter, lantainya telah disemen dan pekarangan tersebut dipagar dengan kawat. Didalam pekarangan itulah Syeh Hamzah al-Fansuri dimakamkan. Disekeliling makam beliau telah dipasang kelambu berwarna putih, dan ditutupi atap dari genteng. Dengan perasaan was-was, kami menyelinap kedalam kelambu tersebut dan subhanallah, kami melihat sebuah makam yang begitu panjang dan juga diselimuti dengan kain hijau tua. Kami kemudian duduk di samping makam danmenghadiahkan do’a untuk beliau. Setelah berdo’a, saya sendiri berdiam diri sambil mengingat kembali masa kejayaan Aceh pada abad ke 17, masa hidup Syeh Hamzah al-Fansuri. Syeh Hamzah al-Fansuri adalah seorang ulama sufi yang begitu terpengaruh di Aceh pada saat itu. Beliau berasal dari Fansur, (Aceh Singkil sekarang). Beliau menguasai ilmu Islam di negeri para nabi dan menyiarkannya di Aceh. Selain menguasai ilmu dibidang sastra, beliau juga menguasai ilmu tauhid dan mengikuti aliran Ibnu ‘Arabi, yaitu aliran Wahdatul Wujud. Menurut beberapa sumber, aliran wahdatul wujud dianggap sesat pada Abad 17 dimasa pemerintahan Sultan Iskandar Thani, dan mendapat tantangan hebat dari seorang Ulama Aceh yang dikenal dengan nama Syeh Nuruddin ar-raniry, beliau berasal dari Ranir,India. Karena dianggap sesat, banyak kitab-kitab karangan Syeh Hamzah al-Fansuri dibakar (menurut sebuah kisah, kitab-kiab beliau dibakar didepan Mesjid Raya Baiturrahman). Sehingga banyak sumber-sumber ilmu yang beliau syiar hilang dari permukaan bumi Aceh. Hanya beberapa kitab yang selamat dan kini tersimpan di museum diluar negeri, seperti Belanda dan Inggris. Sumber yang lain juga mengatakan bahwa bukan hanya kitab-kitab beliau yang dibakar, tetapi beliau juga dikenakan hukuman mati karena menyebarkan aliran sesat.

Hukuman yang dijatuhkan kepada Syeh Hamzah al-Fansuri, pembakaran kitab dan tentang aliran sesat, adalah sebuah peristiwa yang penuh controversial pada abad ke 17, dan menjadi hal yang penuh tanda hanya pada masa sekarang ini. Begitu banyak ilmuan yang melakukan penelitian tentang kitab sastra karangan beliau serta biografinya. Kitab beliau dipenuhi dengan syair-syair mistik serta Hikayat yang kaya dengan makna, syair-syair sufi yang begitu rumit dipahami. Sehingga tidaklah heran jika beliau dinobatkan sebagai pujangga melayu klasik pertama didunia. Tetapi alangkah sayangnya, banyak masyarakat Aceh, pemuda-pemudi dan pelajar yang tidak tahu atau tidak mau tahu tentang kontribusi beliau untuk Aceh. Bahkan tidak mau tahu dimana beliau dimakamkan. Kepedulian rakyat Aceh kepada hasil karya seorang Aceh telah ditelan bumi. Tidak ketinggalan juga, pemerintah Aceh yang notabenenya peduli kepada sejarah Aceh, belum sepenuhnya membangun dan melestarikan peninggalan-peninggalan sejarah Aceh, termasuk Makam-makam ulama yang pernah mengharumkan nama Aceh dimasa dahulu. Peninggalan-peninggalan sejarah Aceh tersebut adalah bukti bukti kejayaan Aceh dimasa dahulu, dan untuk dijadikan contoh bagi generasi muda sebagai penerus dimasa depan.
Setelah beberapa lama saya duduk disamping makam syeh Hamzah al-Fansuri, saya mulai melihat kesekeliling makam yang diselimuti kelambu tersebut. Terdapat 2 makam tidak jauh dari makam syeh Hamzah al-Fansuri, makam tersebut tidak terlalu panjang. Dimakam terlihat batu Aceh, batu nisan yang dipenuhi ukiran ayat Al-Qur’an dan ukiran bunga. Mungkin makam tersebut adalah makam murid atau keluarga beliau. ke 2 makam itu juga diselimuti kain hijau. Melihat kawan saya Riadi asik dengan pemandangan disekeliling pekarangan makam, saya pun beranjak keluar dari kelambu dan mengambil beberapa gambar sebagai kenang-kenangan. Pekarangan makam terletak di pinggir jurang yang curam. Pekarangan terlihat kurang bersih dan dipenuhi dengan daun daun yang gugur. Sementara diarah hutan, terdapat sebuah balai yang lumayan besar ukurannya. Balai tersebut digunakan sebagai fasilitas beribadah dan beristirahat. Walaupun jalan setapak dan sarana ibadah sudah disediakan, tetapi masih terdapat kekurangan pada pelestariannya.saya mengusulkan pada pemerintah agar memasang papan petunjuk arah menuju makan tersebut. Sehingga pengunjung mudah menelusuri lokasi makam Syeh Hamzah al-Fansuri.
Jika diperhatikan, lokasi Makam Syeh Hamzah al-Fansuri dan makam Syiah Kuala ada keunikan tersendiri. Kepastian lokasi makam Syeh Hamzah al-Fansuri hampir sama dengan makam Syiah Kuala. Makam Syiah Kuala terdapat di dua lokasi, yaitu dikecamatan Kuta Alam dan dikabupaten Singkil. Makam yang terdapat di Aceh Singkil dikenal dengan nama makam Syeh Abdulrauf al-Singkili, dan tidak dijuluki dengan nama Syiah Kuala, sedangkan yang di Kecamatan Kuta Alam dikenal dengan julukan makam Syiah Kuala atau Syeh Abdul Rauf al-Singkili. Sementara itu, Makam Syeh Hamzah al-Fansuri juga terdapat didua lokasi, yaitu di Ujung Pancu, Kecamatan Peukan Bada, dan dikabupaten Singkil. Sedangkan nama kedua makam tersebut adalah sama. Kepastian lokasi makam ulama besar tersebut masih penuh tanda tanya. Menurut pendapat saya, Syeh Hamzah al-Fansuri dimakamkan di Ujung Pancu, karena beliau menghadapi hukuman di Banda Aceh pada Abad ke 17 dan jenazah beliau tidak di bawa pulang ke Fansur, tetapi dimakamkan di Ujong Pancu. Selebihnya kita serahkan pada Allah yang Maha Tahu.
Setelah dua jam, kami meninggalkan lokasi makam syeh Hamzah al-Fansuri dan kembali menghadapi perjalanan setapak. Sewaktu pulang, perjalanan kami terasa lebih cepat dibandingkan ketika pergi. Mungkin karena kami sudah mengetahui arah jalan tersebut dan hilang perasaan was-was membuat kami berjalan cepat.
Panas matahari menyengat kulit ketika kami keluar dari hutan, kepala terasa pening disertai dahaga. Dengan sisa tenaga yang ada, kami meninggalkan Ujong Pancu menuju Darussalam, kami meninggalkan sebuah daerah yang penuh dengan sejarah serta peninggalannya.
Ketika sampai ke Darussalam, kami berhenti disebuah warung dan meluangkan waktu untuk melepaskan dahaga. Sambil menikmati segarnya air kelapa muda, kami merencanakan penelusuran selanjutnya. Penelusuran yang akan mengambil waktu yang lumayan lama dan jauh. Perjalanan kami selanjutnya adalah menelusuri peninggalan sejarah Aceh di Lamno” Sejarah Meuruhom Daya” dan “Mencari jejak Simata Biru” yang berbasis di Lamno, Aceh Jaya.