My photo
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Aceh, seperti yang kita ketahui, menyimpan nilai sejarah yang kaya melalui peninggalannya. Tetapi, pada saat ini, banyak masyarakat Aceh telah lupa terhadap hal tersebut,sehingga nilai sejarah Aceh semakin menghilang dan mengakibatkan terhapusnya identitas masyarakat Aceh sendiri. Dengan bekal ilmu yang ada, penulis akan menelusuri jejak peninggalan sejarah Aceh, sehingga pembaca dan masyarakat Aceh mendapatkan berbagai informasi. Semoga blog ini bermanfa'at bagi pembaca-pembaca budiman,Amin. Terima Kasih.

Sunday, February 7, 2010

BENTENG-BENTENG ACEH 2


BENTENG KUTA LUBOK

Tanggal 9 Januari 2010, tepatnya hari Sabtu pagi kami sudah bersedia untuk mencari benteng disebuah lokasi yang berdekatan dengan benteng Inoeng Balee yang telah kami kunjungi beberapa waktu lalu. Benteng tersebut dikenal dengan nama Kuta Lubok. Dari sumber yang kami dapat, letak benteng tersebut sangat strategis dan laluan untuk menuju ke benteng sangat rumit, bahkan menurut informasi penduduk, disekitar benteng terdapat hewan-hewan berbahaya, seperti ular, kala jengking dan lain-lain. Hal yang menakutkan bukan halangan bagi kami, setelah sarapan pagi kami langsung menuju ke Mesjid Raya, arah yang sama menuju benteng Indrapatra dan Inoeng Balee.

Disepanjang jalan, kami menikmati pemandangan pantai Ujong Batee, sebagian pengunjung yang libur dihari Sabtu mulai berdatangan untuk menikmati indahnya pantai Ujong Batee, tanpa terasa kami pun sudah sampai di Kecamatan Mesjid Raya. Setiba didepan pabrik semen Andalas, tepatnya disebuah toko kami berhenti dan membeli segala keperluan dalam perjalanan. Kami juga bertanya pada pemilik toko tentang letak benteng Kuta Lubok tersebut. Menurut penuturan pemilik toko tersebut, benteng tersebut terletak di pinggiran bukit, pintu masuk ke benteng tidak jauh dari lorong menuju ke benteng Inoeng Balee, sekitar 200 meter arah timur.
Setelah mendapat informasi tersebut,
kami melanjutkan perjalanan. Ketika kami sampai didepan lorong menuju benteng Inoeng Balee, kami berjalan sekitar 200 meter ke arah timur dan berusaha mencari papan petunjuk ke arah benteng, tetapi tidak berhasil sampai kami bertemu dengan seorang tukang kebun dan menanyakan pintu masuk kebenteng. Dengan bantuan tukang kebun tersebut, kami akhirnya menemukan sebuah pintu yang dibuat dari bamboo. Kami langsung masuk dan mengikuti jalan tapak diperbukitan.









Jalan menuju ke benteng Kuta Lubok memang begitu menantang, ketika turun dari perbukitan, kami harus serba hati-hati, karena jalan yang begitu licin dan batu yang runcing. Jalan yang menuju ke benteng hanya bisa dilewati kendaraan roda dua, karena ruas jalan yang relative kecil, sehingga susah untuk dilalui oleh kendaraan roda empat, kecuali untuk landrover atau sejenisnya. Setelah melewati rintangan tersebut, akhirnya kami sampai kebawah dan mengikuti jalan setapak menuju ke benteng.


Dengan mengendarai sepeda motor sekitar 200 meter dari kaki bukit, akhirnya kami melihat sebuah bangunan tua yang berdiri kokoh di pinggir laut. Dari bentuk bangunannya, kami begitu yakin apa yang kami saksikan adalah benteng Kuta Lubok; kubu pertahanan yang telah mulai dilupakan oleh Masyarakat Aceh.


Saya teringat pada sebuah artikel yang menjelaskan tentang bentuk batu nisan pada makam yang terdapat disekitar benteng Kuta Lubok. Ketika itu, mata saya sibuk mencari dimana letak makam tersebut sebelum mendekat ke bangunan benteng. Tidak lama kemudian, sekitar seratus meter kearah selatan benteng, saya melihat beberapa jenis batu yang bentuknya berbeda. Setelah mendekat, akhirnya kami menemukan makam tersebut. Menurut artikel yang pernah saya baca, disekitar makam tersebut terdapat lebih dari 5 jenis batu nisan “plak Pling”. Namun, pada saat itu, kami hanya melihat satu batu nisan “plak pling” dan dua batu nisan yang berbentuk persegi empat. Besar Kemungkinannya makam tersebut terkena impak Tsunami yang terjadi pada tahun 2004.


“plak Pling “ adalah jenis batu nisan yang dibuat pada zaman peralihan Hindu-Islam, menurut para arkeolog batu nisan tersebut digunakan pada makam Ulama atau bangsawan di Aceh.






Batu Nisan yang terdapat dimakam tersebut kebanyakan mempunyai tulisan Arab. Karena dimakan Usia dan impak Tsunami, banyak tulisan pada batu nisan tersebut telah hilang dan tidak jelas lagi. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Suwedi Montana( seorang Arkeolog), Batu nisan jenis Plakpling yang ada di dalam benteng Kuta Lubok lebih tua umurnya dari Nisan Sultan Malikussaleh di Samudra Pasai. Hasil pembacaan yang dilakukan oleh Suwedi Montana terhadap beberapa nisan yang terdapat di dalam Benteng Kuta Lubuk menunjukkan angka tertua adalah 680 H (1211 M) dan pada tulisan tersebut menyebutkan nama “Sultan Sulaiman bin Abdullah bin Al Basyir”, pertanggalan tersebut menunjukkan umur yang lebih tua dibandingkan dengan nisan Sultan Malikussaleh di Samudera Pasai berangka tahun 696 H (1297 M)- yang dikenal sebagai daerah asal mula penyebaran Islam. Dari Hasil penelitian tersebut, dapatlah kita ketahui bahwa Islam telah datang lebih awal ke Lamuri( Banda Aceh).

Keadaan makam pada saat kami kunjungi sangat memprihatinkan, seharusnya pemerintah Aceh mengalokasikan sebagian dananya untuk membangun pagar dan atap disekeliling makam, agar makam tersebut terjaga dan dapat diketahui oleh pengunjung. Setelah kami membersihkan makam sealakadarnya, kami pun menuju ke bangunan benteng yang terletak sekitar 100 meter dari makam tersebut.

Benteng Kuta Lubok terletak tepat di tepi pantai( teluk) Selat Malaka, tempat yang begitu strategis untuk sebuah benteng pertahanan dan juga pusat perdagangan. Menurut sebuah sumber, benteng kuta lubok mempunyai hubungan dengan Kerajaan Cola yang berada di India Selatan( Montana).


Gempa dan Tsunami pada tahun 2004 menyebabkan beberapa bagian benteng runtuh. Dari arah timur, bangunan benteng kelihatan rusak parah dan batu-batu dari bangunan tersebut mulai berjatuhan, sementara sebagian besar atas benteng telah tumbuh pohon-pohon yang bisa merusak bangunan benteng akibat akarnya.

Sisa benteng yang masih kokoh terdiri dari letter L dimana sebagian jejak benteng yang lain nya telah hilang ditelan usia atau hilang akibat ketidakpedulian manusia. Pada bagian tengah, benteng masih kelihatan kokoh, sehingga kami bis
a mengetahui bagaimana bentuk asli bangunan benteng tersebut.


Dari ujung benteng arah Barat, terdapat sebuah bangunan dengan bentuk letter O, diatasnya telah tumbuh pohon yang besar dan akar pohon tersebut telah membuat sebagian bangunan rusak. Menurut pendapat saya, didalam bangunan yang berbentuk letter O tersebut dibangun menara untuk mengawasi perairan selat Malaka dan keluar masuknya kapal dagang yang datang dari berbagai belahan dunia.










Disekitar benteng Kuta lubok, kami juga menemukan potongan-potongan keramik yang berlainan jenis, keramik tersebut banyak dibawa dari Cina pada masa dinasti Ming, India, Arab dan Eropa oleh para pedagang. Pada umumnya, disetiap benteng khususnya yang dibangun ditepi laut, banyak terdapat potongan keramik, itu membuktikan bahwa kawasan tersebut besar kemungkinannya menjadi pusat perdagangan atau salah satu kota pada awal abad 14 Masehi. Menurut salah satu sumber, Kuta Lubok adalah sebuah daerah yang menjadi pusat perdagangan yang tua, daerah tersebut sering disebut dengan nama Lamuri atau Lambari. Maka tidak heran jika di daerah benteng tersebut masih tersimpan benda-benda berharga lainnya seperti, emas, uang, dan material lainnya.



Dari arah laut benteng, kami melihat pemandangan laut Selat Malaka yang indah. Tidak salah jika benteng tersebut dibangun ditempat yang sesuai untuk pusat perdagangan, karena selain pemandangan yang indah, tempat tersebut juga sangat sesuai untuk kapal laut untuk berlabuh.










Setelah 4 jam di benteng Kuta Lubok, kamipun berangkat pulang meninggalkan benteng yang sudah mulai dilupakan sebagian masyarakat Aceh. Saya sangat mengharapkan perhatian Pemerintah Aceh terhadap kelestarian benteng Kuta Lubok, karena benteng tersebut menjadi bukti Kejayaan bangsa Aceh yang berperadaban sejak dahulu.
“ketika kami mengelilingi benteng, kami tidak berjumpa dengan binatang-binatang yang berbahaya, dan bagi saya, ketidakpedulian Bangsa Aceh terhadap benteng tersebut adalah hal yang paling berbahaya daripada berjumpa dengan binatang tersebut"